Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 21 Februari 2011

CIN(T)A - KeTiKa TuHaN JaDi SuTrAdArA



DoWnLoAd : - > PaRt 1
                 : - > PaRt 2
                 : - >  PaRt 3

                               S I N O P S I S F I L M " KETIKA TUHAN JADI SUTRADARA"

Sammaria Simanjuntak mungkin masih berusia 25 tahun saat mengerjakan proyek sutradara perdananya yang berjudul ‘Cin(t)a’, namun filmnya terlihat seperti sebuah partitur opus yang berisi aransemen yang indah, cerdas, terdengar subversif, namun sebenarnya hanya sangat jujur, hasil gubahan seorang komponis yang berpengalaman.

Cina (Sunny Soon) adalah junior yang baru bergabung dikampusnya dan Annisa (Saira Jihan) adalah senior yang tengah melakukan Tugas Akhir. Pada awalnya Cina memandang sebelah mata Annisa yang merangkap artis ini dengan mengutip hukum Newton yang pertama sebagai idiom, “kecantikan akan berbanding terbalik dengan kemampuan otaknya.” Tapi kemudian ia tahu jika ia salah. Annisa adalah seorang perempuan dengan kedalaman.
Cina adalah seorang Tiong Hoa asal Tapanuli yang penuh dengan prinsip serta memandang keberhasilan diupayakan dengan kerja keras dan pembuktian diri. Annisa adalah perempuan Jawa yang mencoba menjadi dirinya sendiri serta mengaplikasikan pemikirannya, terlepas apa pemikiran orang lain, namun tetap patuh kepada orangtuanya, meski berasal dari keluarga yang (mungkin) disfungsional. Singkat kata, mereka saling tertarik dan pada akhirnya menjalin hubungan romansa. Namun, selayaknya film percintaan seru lainnya, akan ada pihak ketiga yang menguji cinta mereka. Dan pihak ketiga ini tidak main-main, Tuhan!
Bagaimana tidak, Cina adalah seorang Nasrani yang taat dan Annisa adalah seorang muslimah yang selalu mengerjakan perintah agamanya. Agama yang berbeda tentu saja katanya memiliki Tuhan yang berbeda. Dan karena masing-masing mereka juga mencintai Tuhannya, lantas apa yang harus mereka lakukan?
Mungkin karena Sammaria Simanjuntak masih muda jadi ia dapat dengan fasih merangkai sebuah narasi tentang pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan agama serta perbedaanya yang sering menjadi polemik dikalangan muda. Setiap dialog dalam film ini disusun dengan sangat jujur dan menggambarkan keseharian dalam ruang lingkup masyarakat kita. Idiom-idiom yang dipakai juga efektif. Oleh karenanya sangat keterlaluan jika penonton menyikapi dengan defensif terhadap film ini. Toh, film ini juga bukan merupakan propaganda agama tertentu, melainkan sebuah dekripsi tentang realitas yang tidak bisa kita bantah.
Disinilah letak keberhasilan Sammaria yang menulis skripnya bersama Sally Anom Sari. Plek, sepanjang 78 menit durasi film, mayoritas frame hanya menangkap sosok Cina dan Annisa. Bahkan sebagian besar isi film hanya dialog diantara mereka. Yah lebih tepatnya “berdebat” tentang perbedaan mereka.
Namun, Sammaria juga kaya akan visual, dengan mengambil angle-angle cantik dan mampu berbicara, sehingga maksud adegan pun tersampaikan, tanpa mengurangi intensitas sebagai sebuah film romansa. Jangan khuatir, beberapa adegan romantis yang manis bisa tetap dinikmati disini.
Secara teknis, ‘Cin(t)a’ lulus dengan lumayan memuaskan. Meski hanya berisi dialog oleh dua karakternya, namun film berhasil mengindarkan kesan monoton dan malah mampu tampil dengan dinamis. Terima kasih tentu saja pada pengarahan Sammaria yang bernas, skrip yang cerdas juga permainan yang memikat oleh Sunny Soon dan Saira Jihan.
Mereka berdua adalah pemain-pemain amatir. Itu jelas. Akan tetapi dengan tingkat penghayatan yang tinggi, mereka bahkan bermain lebih cantik ketimbang kebanyakan so-called young actors-actresses in Indonesia. Bayangkan betapa berat tugas mereka untuk menjaga intensitas film, sepanjang durasi, tanpa ada bantuan pemeran pendukung. Dan itu sukses mereka lakukan.
Cina adalah sosok yang ekstrovert, sedikit jahil namun sebenarnya naif, sedang Annisa meski terlihat lemah lembut akan tetapi mempunyai keinginan dan perspektif yang kuat. Tabik berlebih kepada Sunny Soon, yang saya yakin bukan berasal dari Medan, akan tetapi mampu mengadopsi aksen khas tersebut dengan nyaris sempurna (Tora Sudiro di ‘Nagabonar Jadi 2′ seharusnya belajar dari dia).
‘Cin(t)a’ adalah sebuah film. Akan tetapi ia juga sebuah deskripsi yang jenial tentang realitas pluralitas di Indonesia tanpa berniat menjadi analitis atau pun menghakimi. Oleh karenanya jangan harapkan sebuah solusi darinya, karena justru film pada akhirnya menawarkan sebuah wacana untuk didiskusi atau direnungkan lebih jauh.
Sebagai sebuah film kecil dengan bujet terbatas, ‘Cin(t)a’ terbukti lebih baik ketimbang film-film di industri film kita yang sekarang penuh dengan omong-kosong.

1 komentar: